Sabtu, 02 November 2013

biografi I Nyoman Nuarta pembuat patung gwk

Yak ..ini adalah posting pertama ku tentang biografi tokoh
Kali ini kita mulai dari tanah air ya!!

Saya akan membahas pembuat patung GWK(Garuda Wisnu Kencana) di Bali

Siapa yang tidak tahu GWK ,patung raksasa  Dewa wisnu (dewa dalam kepercayaan umat hindu) yang sedang mengendarai Garuda  yang berada di Bali ini cukup populer dikalangan masyarakat nasional dan internasional.
yak cukup tentang GWK mari kita bahas si Pembuat GWK



I   Nyoman Nuarta dibesarkan di lingkungan keluarga pengusaha yang berhasil dan cukup terkenal di kotanya. Meski demikian, putra pasangan Wirjamidjana dan Semuda ini tumbuh dalam didikan pamannya, seorang kelihan adat dengan disiplin yang cukup ketat. Perkenalannya dengan guru menggambar, Ketut Dharma Susila, menjadi titikawal perjalanan karirnya di dunia seni. 


Untuk mengasah bakatnya, pria kelahiran Tabanan, 14 November 1951 ini melanjutkan kuliahnya di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1972. Saat itulah karirnya di dunia seni berawal. Bersama beberapa sahabat dekatnya seperti pelukis Hardi, Dede Eri Supria, Harsono, serta kritikus seni Jim Supangkat, Nyoman bergabung dalam Gerakan Seni Rupa Baru di Indonesia pada tahun 1977. Gerakan itu kemudian menjadi salah satu tonggak penting perkembangan seni rupa di Indonesia bahkan telah menerima penghargaan dari Presiden HM Presiden Republik Indonesia Kedua(1966-1988)Soehartoditahun1979. 



Nyoman awalnya lebih tertarik dalam bidang seni lukis dengan mengambil kuliah di jurusan Seni Rupa. Namun pada akhirnya, ia memutuskan untuk pindah ke jurusan seni patung setelah ia mengikuti kuliah selama dua tahun. Ia merasa, bakat serta kemampuannyalebih berkembangdisenipatung.Pilihan itu tidak keliru. Pada tahun 1979, ia memenangkan Lomba Patung Proklamator Republik Indonesia yang sekaligus mengantarkannya ke jenjang ketenaran. Sejak itu, anak ke-6 dari 9 bersaudara ini banyak menelurkan karya-karya mengagumkan yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Pada 1993, Nyoman membuat Monumen Jalesveva Jayamahe, yang hingga hari ini masih berdiri kokoh di ujung Utara Surabaya. Monumen tersebut menggambarkan sosok Perwira TNI Angkatan Laut dengan memakai pakaian PDU lengkap dengan pedang kehormatan sedang menatap ke arah laut. Patung tersebut berdiri tegak di atas bangunan gedung dengan tinggi keseluruhan mencapai 60,6 m. Monumen Jalesveva Jayamahe menggambarkan generasi penerus bangsa yang dengan penuh keyakinan dan kesungguhan siap menerjang ombak badai menuju arah yang telahditunjukkanyaitucita-citabangsaIndonesia. 



Karya lain yang tak kalah fenomenal adalah patung Garuda Wisnu Kencana (GWK). Patung ini sendiri menggambarkan sosok Dewa Wisnu (Dewa penyelamat bagi umat Hindu) yang sedang mengendarai burung Garuda. Pembuatan patung ini terinspirasi dari kisah Adi Parwa yang diambil pada episode Garuda yang memberikan kesetiaan dan pengorbanannya untuk menyelamatkan ibunya dari belenggu perbudakan. Hal yang dilakukannya yaitu dengan mengabdi kepada Dewa Wisnu dan menjadi kendaraan bagi sang Dewa. 



Bisa dibilang patung GWK merupakan karya terbesar I Nyoman Nuarta. Pasalnya, pembangunan patung yang terletak di Desa Ungasan, Jimbaran, Bali ini kerap disebut sebagai mega proyek. Taman budaya Garuda Wisnu Kencana sendiri mempunyai luas keseluruhan sekitar 200 hektare. Dengan tinggi sekitar 75 meter, patung tersebut diletakkan di atas fondasi setinggi 70 meter. Dengan demikian, total tingginya mencapai 145 meter. Untuk patung Garudanya saja mempunyai lebar bentangan sayap sekitar 66 meter. Berat keseluruhan patung tersebut mencapai 4000 ton. Patung GWK bahkan disebut-sebut sebagai patung tertinggi di dunia mengalahkan patung Liberty yang menjadi ikon kota New York, AmerikaSerikat. 



Bagi seniman yang sudah menciptakan ratusan patung bernilai seni dan berdaya jual tinggi itu, proyek GWK ibarat ladang amal. Motifnya menggagas pembangunan proyek tersebut bukan semata untuk keuntungan materi. Oleh sebab itu, ia tidak buru-buru mematok tarif untuk karya besarnya tersebut. Yang terpenting bagi Nyoman ialah, ia bisa memberikan warisan budaya yang berharga bagi anak cucu bangsa. Kedengarannya memang klise, tapi     itulahNyoman yang sudah hidup makmur dari mematung. 

Selain sebagai alternatif objek wisata di Pulau Dewata, tujuan pembangunan patung tersebut menurut Nyoman adalah untuk membantu para seniman tua yang sudah pensiun dan beberapa kelompok kesenian yang bangkrut karena kekurangan dana. Di samping itu, sebagai ahli patung modern, Nyoman Nuarta merasa sangat prihatin melihat perkembangan seni patung di Indonesia, karena patung saat ini belum memiliki tempat yang layak di hati masyarakat. Padahal patung dapat digunakan untuk mempercantik lingkungan.

Selain monumen Jalesveva Jayamahe dan Garuda Wisnu Kencana, masih ada sekitar ratusan patung serta monumen yang terlahir dari buah kreativitas suami dari Cynthia Nuarta ini dan tersebar di seluruh penjuru Tanah Air. Di antaranya, Patung Wayang (Solo), Monumen Arjuna Wijaya (Jakarta), Patung Putri Melenu (Kalimantan Timur), Patung Timika untuk Alun-alun Newtown Freeport (Irian Jaya), dan masih banyak lagi.

Selama berkiprah sebagai pematung, Nyoman Nuarta juga pernah merasakan pengalaman yang kurang menyenangkan. Seperti yang terjadi di tahun 2010 lalu, saat Patung Tiga Mojang buatannya yang telah dua tahun berdiri di sebuah perumahan di Kota Bekasi, Jawa Barat, dirobohkan oleh sebuah ormas karena dituding sebagai perlambangan Trinitas dan dianggap menyinggung perasaan umat Islam serta diduga tidak memiliki ijin. Patung tersebut dirobohkan pada pukul 07.30 WIB dan baru pukul 10.00 WIB berhasil dipindahkan ke Mapolrestro Kota Bekasi untuk selanjutnya diserahkan kembali oleh pengembang.

Nyoman menyesalkan aksi tersebut seraya menjelaskan bahwa tudingan tersebut sama sekali tidak benar. "Patung tersebut adalah gambaran mojang priangan yang menggunakan pakaian kemben bukan gambaran Bunda Maria yang memakai kerudung," kata pematung yang tinggal di Tirtasari, Bandung ini seperti dikutip dari situs antaranews. Nyoman juga menambahkan, peristiwa tersebut merupakan preseden buruk bagi kesenian dan kebudayaan Indonesia.

Selain membuat patung dan monumen, ayah dua putri ini juga membuat trofi untuk beberapa kejuaraan olahraga. Pada tahun 1994, ia mendesain Piala Liga Dunhill. Kemudian di tahun 2011, Nyoman membuat Championship Trophy National Basketball League (NBL) Indonesia musim 2011-2012. Trofi tersebut memiliki dimensi 22 cm x 22 cm, tinggi 48 cm, berat 22 kg, serta berbahan dasar tembaga berlapis emas 22 karat, serta didesain dengan detail yang mengagumkan. Di situ terdapat sosok-sosok manusia yang mengikuti pusaran dan berebut bola, memperlihatkan gerakan-gerakan dinamis yang mengarah pada perjuangan
       Dan keuletan mencapai prestasi trofi ini merefleksikan bahwa prestasi merupakan kedigdayaan yang bisa dicapai manusia


      Nyoman mengaku bangga dapat mempersembahkan karya seninya bagi dunia olahraga Tanah Air. Ia juga merasa prihatin dengan kemajuan dunia olahraga di Indonesia, karena itu, ia merasa ikut memiliki tanggung jawab dalam memajukannya. Komisioner PT. Nyoman Nuarta Enterprise ini berharap trofi tersebut dapat menginspirasi perjuangan anak bangsa untuk memajukan olahraga di Indonesia, khususnya basket. Selain trofi, Nyoman Nuarta juga mempersembahkan sebuah puisi khusus yang menceritakan filosofi dari rancangan trofi tersebut.

Kontribusi I Nyoman Nuarta sebagai pematung telah mendapatkan pengakuan, baik dari pemerintah Indonesia maupun dunia internasional. Nyoman juga bergabung dalam organisasi seni patung internasional, di antaranya International Sculpture Center Washington, Amerika serikat , Royal british  sculpture society ,London dan juga sterring commiteforBaliRecoveryProgram  

       Dalam berkarya, peraih penghargaan Jasa Adiutama dari ITB tahun 2009 ini lebih memilih menggunakan bahan kuningan dan tembaga. Kendati kedua material tadi terbilang sulit dibentuk, namun berkat tangan terampil, ketajaman logika dan kepekaan rasa seninya, kuningan dan tembaga berhasil diubah menjadi patung-patung indah. Dengan teknik las, ia mengerjakan seluruh detail yang rumit. Kemudian potongan-potongan logam kuningan dan tembaga yang keras dibentuk dengan jalan pemanasan. Tembaga cair yang telah dipanaskan tadi lalu diteteskan di atas batang kuningan yang telah ia satukan.

Dalam mengerjakan proses tersebut, Nyoman menggunakan tiga alat las yang ukurannya berbeda. Satu untuk membentuk, satu untuk memanaskan, dan satu lagi untuk mempertahankan supaya kuningan tetap cair. Proses pembentukan pun harus dilakukan dengan sangat cepat, karena logam cair akan membeku kembali dalam beberapa menit. Nyoman enggan menggunakan tanah liat sebagai bahan pembuat patung-patungnya karena tanah liat dianggap terlalu lunak untuk menghasilkan ekspresi yang keras.

Sedangkan untuk patung yang halus seperti Lamunan, Nyoman menerapkan teknik mencetak model tanah liat. Namun, untuk karya yang menunjukkan citra bergolak, seperti Prahara, Nyoman menggunakan teknik pahat. Caranya, ia lebih dulu mencetak bongkahan polyester resin. Bongkahan inilah yang kemudian dipahatnya. Sementara batu-batuan atau pualam dinilai Nyoman tidak efisien di zaman teknologi seperti sekarang ini, lantaran sulit didapat, mahal, berat, serta proses pengerjaannya yang memakan waktu lama.

Perhitungan material dalam membuat karya-karya monumental, menurut Nyoman, sama pentingnya dengan nilai seninya sendiri. Jangan sampai nilai seninya begitu diutamakan, tapi pembiayaannya tak terkontrol. Pernyataan ini menunjukkan, Nyoman mematung bukan cuma untuk kebutuhan berekspresi. Namun ia juga mencoba bersikap profesional dalam menerima pesanan.

Dalam perkembangan profesinya lebih lanjut, Nyoman terus berusaha melewati berbagai rintangan dan hambatan. Dipicu semangat profesionalisme dan dukungan beberapa seniman muda, ia mendirikan satu kelompok yang dikelola melalui pendekatan manajemen yang apik. Ternyata dengan pendekatan ini dapat dibuktikan bahwa bidang seni rupa yang selalu dianggap sangat individual ternyata dapat dilaksanakan melalui sistem manajemen yang profesional. Bersama sang istri yang sekaligus bertindak sebagai manajer, Nyoman membangun sebuah studio di Bandung dan mempekerjakan puluhan karyawan. Ia juga mengaku lebih nyaman tinggal di Kota Kembang ketimbang di kota kelahirannya karena udaranya yang sejuk.

Untuk meneruskan sepak terjangnya, Nyoman mewariskan bakat seninya kepada kedua putrinya, si sulung, Tania yang menekuni jurusan seni rupa di sebuah perguruan tinggi di Melbourne, Australia, serta sang adik, Tasya, yang kerap menemani Nuarta di studionya. Sebagai seorang pematung, Nuarta telah membangun Taman Patung yang ia namakan NuArt Gallery di tahun 2000. Di taman yang berlokasi di kawasan Sarijadi, Bandung itu terdapat puluhan patung dalam berbagai bentuk dan ukuran yang bertebaran di areal seluas tiga hektar. Selain taman, juga dibangun gedung empat lantai untuk pameran dan ruang pertemuan dengan gaya artistik.

Kerja keras merupakan prinsipnya dalam menggeluti dunia seni. Dukungan keluarga juga amat diperlukan sehingga anggapan bahwa masa depan seniman itu suram bisa ditanggalkan. Sedangkan dalam berkarya, Nuarta tidak pernah mempersoalkan aliran. Ia mengenal beberapa aliran dan ia percaya perubahan itu adalah kelebihan manusia dari makhluk lain.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar