Anda penggemar film
horor? My Bloody Valentine dijamin mampu memuaskan dahaga anda. Bukan hanya
alur ceritanya yang membuat bulu kuduk berdiri, format 3D yang diaplikasi
menambah nuansa horror terasa jauh lebih menyeramkan.
Bila menengok ke
belakang. My Bloody Valentine sejatinya bukan film baru, melainkan hanya remake
dari film berjudul sama karya sutradara George Mihalka pada 1981. Memang tak
selegendaris Friday The 13th atau Halloween, tetapi film lansiran Kanada ini
cukup mencuri hati peminat film horor.
Adalah kota Harmony yang
menjadi seting lokasi cerita film ini. Sepuluh tahun lalu di kota ini terjadi
bencana. Terowongan tambang batubara runtuh lantaran ulah penambang tak
berpengalaman, Tom Hanniger (Jensen Askles) yang tak lain adalah putra pemilik
tambang. Akibatnya tujuh orang tewas terkubur hidup-hidup dalam terowongan.
Hanya satu orang yang selamat, namun mengalami koma cukup lama, yakni Harry
Warden. Sementara Tom yang merasa bersalah memutuskan hengkang dari kota itu.
Tepat perayaan hari
Valentine, Harry bangun dari komanya. Seperti orang kesurupan, dia melampiaskan
kesumatnya dengan melakukan pembantaian menggunakan kapak beliung. Sebanyak 20
orang terbunuh. Tetapi akhirnya Harry sendiri juga berhasil dibunuh. Sebelum
tewas ditembak, sang penjagal sempat mengguratkan pesan ”cinta”: Happy Bloody
Valentine!
Setahun setelah
peristiwa horor itu, Tom kembali pulang kampung. Ia berniat menjual saham
pertambangan milik ayahnya itu, lantar cepat-cepat pergi lagi. Tapi sayang,
waktu tak bersahabat dengan Tom. Ia datang tepat bersamaan dengan ‘musim’
pembantaian berantai yang tengah melanda kota itu.
Ironisnya, bukti-bukti
mengarah pada Tom sebagai pelaku tunggal pembantaian. Masyarakat pun meyakini
itu. Hanya Sarah (Jaime King), mentan kekasih Tom yang kini menjadi istri
kepala kepolisian Harmoni, Axel (Kerr Smith) yang percaya bahwa Tom bukan
pelakunya. Pada bagian inilah cerita menjadi lebih berwarna, mulai dari kisah
roman, kriminal hingga horor. Cerita makin kompleks ketika Axel menjalin cinta
dan bahkan menghamili teman kerja Sarah, Megan.
Tentu saja kisah-kisah
picisan itu hanyalah sekedar bumbu. Karena poin utama film horor tentu
adegan-adegan menyeramkan yang mengundang jerit ketakutan para penonton. Misi
ini berhasil dicapai sang sutradara, Patrick Lussier. Dia memang dikenal
sebagai spesialis film horror, diantaranya tiga film sekuel Scream (1996, 1997,
dan 2000), Dracula (2000), dan adaptasi film Pang Brothers, The Eye (2006).
Apalagi dengan
penggunaan format 3D, misi kengerian menjadi berlipat, karena penonton dibuat
seolah terlibat di dalamnya. Misalnya saat sepotong tangan tanpa tubuh
menggelayut di depan wajah, penonton ikut terkaget-kaget. Begitupun saat kapak
si pembunuh tiba-tiba diayunkan, penonton akan benar-benar merasakan seolah
kapak itu mengarah kepada dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar